Jual Beli, Utang, Sewa

Blog Ekonomi - Akad (transaksi) jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa sangat tidak asing lagi bagi manusia, karena sudah terjadi lama dan tidak mungkin hilang dari kehidupannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi transaksi tersebut yakni membutuhkan lebih dari satu manusia. Memang Allah mengutus kita sebagai khalifah di bumi dengan hidup berdampingan yang akhirnya memiliki sifat saling bergantung pada orang lain.
Maka dari itu sebagai makhluk Allah untuk menjaga kelestarian bumi, kita wajib mengantisipasi hal-hal mengenai transaksi dengan mengutamakan nilai persaudaraan dan kebersamaan. Agar tidak terjerumus pada etika yang tidak sesuai ajaran oleh Rosulullah. 
Jual Beli, Utang, Sewa

PENGERTIAN
1. Jual Beli (SALE and PURCHASE) 
Menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah, dan al-Mubadalah yang berarti jual beli[1], perdagangan atau perniagaan. Sedangkan menurut istilah yaitu perjanjian tukar menukar benda yang mempunyai nilai (termasuk uang), secara sukarela oleh kedua belah pihak, yang sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang dibenarkan syara’.[2] 
2. Utang Piutang (CREDIT and DEBIT) 
Menurut bahasa: at-tahwil atau al-intiqal,artinya memindahkan.[3] Menurut istilah yaitu memberikan/memindahkan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar sama dengan itu. Hukumnya sunnah dan bisa menjadi wajb jika sudah sangat membutuhkan. 
3. Sewa Menyewa (OPERATIONAL and FINANCIAL LEASE) 
Menurut bahasa: Ijarah, yang berarti upah-mengupah (jasa)[4], sewa-menyewa (barang)[5], atau imbalan, bisa juga disebut Iwadh yang berarti ganti. Sedangkan menurut terminologi yaitu pemindahan manfaat (hak guna) atas barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan adanya pembayaran imbalan (ujrah) atau ganti (iwadh), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.[6] 
Mengenai perbedaan makna antara sewa dan upah yakni, sewa berupa pemanfaatan barang/benda sedangkan upah berupa pemanfaatan jasa/tenaga. 

DASAR HUKUM 
1. Jual Beli 
Islam memandang jual beli adalah aktifitas mulia, sarana tolong menolong antar manusia, artinya menolong sesama bukan hanya mencari keuntungan semata. 
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”(QS. al-Baqarah: 275)
Selain memberikan kritik terhadap ribawi juga ditegaskan bahwa jual beli merupakan sesuatu yang hak dan Islam sangat membolehkannya. 
Hadits dari Rif’ah bin Rafi’ al-Bazzar dan al-Hakim yang menyatakan bahwa ketika Rosulullah ditanya profesi apa yang paling baik, beliau menjawab: “usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkahi.” Maknanya ialah jual beli yang jujur, tanpa unsur kecurangan dan mendapat berkah dari Allah SWT. 
2. Utang 
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”(QS. Al-Maidah: 2)
“dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan dapat yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqoroh:188).
3. Sewa 
"...jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya...”(Q. S. Ath-Thalaq:6).
Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits yang artinya “berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. 
Ijma’nya: seluruh umat sepakat dan tak ada ulama’ yang membantah hal ini.[7] 

RUKUN – RUKUN DAN SYARAT – SYARATNYA
1. Jual Beli 
Jumhur ulama’ menetapkan rukun jual beli ada empat, yaitu: 
a. Shighat (lafal ijab dan kabul)
Dilakukan dalam satu majlis, artinya antar penjual dan pembeli dalam ruangan, situasi, kondisi yang sama. Namun, persyaratan yang terpenting yaitu rela sama rela (taradlin) dan syah bila sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.[8] Serta proses serah terima setelah kesepakatan sesudahnya antara kedua belah pihak.
b. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
Harus mempunyai kompetensi, artinya sudah akil baligh dan mampu memilih kualitas barang. Tidak sah jika dengan manusia yang belum nalar/tidak berakal.
c. Ma’qud ‘alaih (Serta barang yang diperjualbelikan)
Harus bersifat suci, bermanfaat, milik penjual sepenuhnya dan bisa diserahterima kan. Termasuk juga alat tukarnya, yang mengandung nilai misalnya uang.
2. Utang 
Rukun utang: 
a. Lafadz 
b. Yang utang dan berpiutang 
c. Barang yang diutangkan 
Dan istilah jaminan (rungguhan), bukan merupakan rukun. Namun, penguat yang berutang agar lebih mudah mendapat kepercayaan dari yang mengutangi. Maka dari itu, manfaat jaminan tetap milik yang berutang. Jaminan tersebut boleh dijual jika yang berutang memang sudah tak sanggup membayar, harga harus sesuai dengan harga pasaran waktu itu. Sedangkan suatu tambahan diwaktu pembayaran boleh dilakukan jika sebagai rasa terima kasih dari yang berutang. Namun, jika sudah menjadi perjanjian awal dari kedua belah pihak maka tidak dibolehkan (tergolong riba).
Rukun hiwalah:
a. Muhil (Orang yang berutang dan berpiutang) 
b. Muhtal (Orang yang berpiutang) 
c. Muhal ‘alaih (Orang yang berutang) 
d. Utang muhil pada muhtal 
e. Utang muhal ‘alaih pada muhil 
f. Sighat (ijab kabul)
Sedangkan istilah daman ialah yang menjamin/menanggung utang. Misalnya, jika A menjamin barang yang dipinjam B dari C. Maka C berhak menagih ke A/B, dan jika A/B (salah satu) sudah membayar maka selesailah urusannya. Namun, jika B tidak bisa membayar maka C berhak menagih ke A atas janjinya tersebut.
3. Sewa 
Rukun dan syaratnya ialah sebagai berikut: 
a. Mu’jir (penyewa/pengupah), Musta’jir (yang mempersewakan/menerima upah) 
Diantaranya baligh[9], berakal, dan cakap mengendalikan harta, serta saling ridha. 
b. Shighat (lafal ijab kabul) 
Akadnya bisa berupa prabayar maupun pascabayar. Kedua belah pihak harus sepakat. Tidak diperbolehkan jika jangka waktunya selamanya. Bersifat akad lazim (tidak boleh dibatalkan salah satu pihak), kecuali: terjadi cacat pada barang yang disewakan, dan berakhirnya akad. Jika cacat awal penyewa memiliki hak khiyar.
c. Barang dalam persewaan (ma’qud ‘alaih) atau sesuatu yang dikerjakan 
- Harus bermanfaat (manfaat yang dan berharga menurut syara’)
- Objek bisa diserah terimakan berikut kegunaannya (sah milik mu’jir) 
- Diketahui jumlahnya (jenis, kadar, sifat) oleh kedua belah pihak 
- Bersifat halal, baik dalam sewa maupun upah 

MACAM – MACAM 
1. Jual Beli 
Menurut Imam Taqiyyudin jual beli dari segi objek dibagi tiga,[10] yaitu: 
a. Jual beli benda yang kelihatan 
b. Jual beli benda pesanan/dalam janji (salam) 
c. Jual beli benda yang tak terlihat 
Dari segi pelaku akad, jual beli juga dibagi menjadi tiga yaitu: 
a. Lisan 
b. Perantara 
c. Perbuatan 
Dari segi obyek dagangan juga dibagi menjadi tiga yaitu:[11] 
a. Jual beli umum : uang ó barang, jenis transaksi pada umumnya. 
b. Jual beli ash sharf : uang ó uang, misalnya money charger. 
c. Jual beli muqabadlah : barang ó barang, biasa disebut barter. 
Jual beli yang hukumnya sah namun dosa bila dilakukannya: 
a. Membeli benda orang desa yang belum mengetahui harga pasar. 
b. Menawar dan atau menjual barang yang sedang ditawar.
c. Najasyi. yaitu meninggikan harga dengan memancing barang agar mau membeli. 
d. Menjual di atas penjualan. “kembalikanlah lalu belilah bendaku lebih murah. 
Dilihat dari standarisasi harga: 
a. Pembeli diberi kesempatan menawar, danpenjual tidak menginfokan harga barang. 
b. Amanah : penjual memberi tahu harga belinya barang dan belum memperhatikan keuntungan yang akan diperoleh. Jenis ini dibagi tiga, yaitu: 
- Murabahah : penjual menghendaki keuntungan yang akan diperolehnya. 
- Wadi’ah : penjual dengan alasan tertentu siap mengambil kerugian. 
- Tauliyah : menjual sesuai harga beli, rela tidak mendapat keuntungan. 
c. Muzayadah (lelang): menawarkan ke para pembeli dan mengambil harga tertinggi. 
d. Munaqadlah (obral): pembeli mencari kriteria barang termurah dari para penjual. 
e. Muhathah : penjual menawarkan diskon (potongan harga) kepada pembeli. 
Khiyar dalam jual beli: 
a. Khiyar majlis. Boleh dilanjut batalkan selama masih dalam satu tempat. 
b. Khiyar syarat. Terdapat suatu syarat, baik dari penjual maupun pembeli. 
c. Khiyar ‘aib. Jual beli dengan syarat kesempurnaan barang untuk pembeli. 
Dilihat dari pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah:[12] 
a. Murabahah 
Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.[13] 
b. Salam 
Pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, dan pembayaran di muka. 
c. Istishna’ 
Kontrak pembeli dengan pembuat barang dalam menerima pesanan. 

2. Utang

3. Sewa 
Dari sisi objek dibagi dua: 
a. Ijarah manfaat (Ijarah ala al-Manfaat). Menyewa barang untuk diambil manfaatnya. 
b. Ijarah pekerjaan (Ijarah ala a’mal). Menyewa jasa seseorang untuk diambil tenaganya. 
Lalu ada jenis Ijarah Muntahiya bi at-Tamlik (IMB)[14]/Financial lease with purchase option (sewa beli). Sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan akad sewa (akad sewa yang berakhir kepemilikan penyewa).[15] 

Keuntungan mu’jir yakni untung sewa dan kembalinya uang pokok. Sedangkan resiko yang terjadi bagi mu’jir: 
a. Default. Nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja 
b. Rusak. Aset rusak memerlukan biaya pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan dilakukan bank. 
c. Berhenti. Nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau memebelinya. 

Untuk antisipasi terjadi resiko, perlu dilakukan kesepakatan yang jelas. Seperti: 
a. Jika nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja atau berhenti maka mu’jir berhak mengambil barangnya kembali dan tidak mengembalikan cicilan musta’jir. 
b. Jika terjadi kerusakan dengan sengaja, maka musta’jir yang mengganti.
Penyelesaian beberapa resiko tersebut sebaiknya atas kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan asas transparansi/jelas dan berkeadilan.

JUAL BELI YANG DILARANG
1. Barangnya dihukumkan najis oleh syara’ 
2. Sperma (mani) hewan 
3. Anak binatang yang masih dalam perut induknya 
4. Muhaqalah (tanaman dalam ladang) 
5. Mukhadarah (buah yang belum dipanen) 
6. Muammassah (sentuh-menyentuh) 
7. Munabadzah (lempar-melempar) 
8. Muzabanah (barang basah dengan barang kering) 
9. Iwadh mahjul (Menentukan dua harga dalam satu barang) 
10. Gharar (samar/tidak jelas) 
11. Mengecualikan sebagian benda yang dijual 
12. Menjual makanan hingga dua kali takaran. 

Daftar Pustaka
Affandi, Yazid. 2009. Fiqih Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka 
Hendi, Suhendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers 
Rasjid, Sulaiman. 2013. Fiqh Islam-59. Bandung: Sinar Baru Algesindo 
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani

Footnote
[1] Nasrun Harocn, Fiqh Muamalah (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007) Hal. 111
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Rajawali Pers: Jakarta, 2010) Hal. 68-69
[3] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, Hal. 210
[4] Ahmad Idris, Fiqh asy-Syafi’iyah, Hal. 139 
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Hal. 183 
[6]Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh ‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, vol. III, Hal. 74; Muhammad Rawas Qal’aji, Muj’am Lughat al-Fuqaha’ (Beirut: Darun-Nafs,1985); Ahmad Asy-Syarbani, al-Mu’jam al-Iqtisad al-Islami (Beirut: Dar Alamil Kutub, 1987); dan Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, cet. 8, vol. III (Beirut: Darul Kitab al-Arabi, 1987) Hal. 183
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Hal. 18 
[8] Muh. Amin Kurdi, TanwirulQulub fi Muammalati ‘allamulGhuyub (Beirut:Darul Fir) Hal. 267
[9] Menurut Syafi’i dan Hambali, Maliki dan Hanafi cukup mumayyiz (syarat persetujuan wali). 
[10] Imam Taqiyyudin, Kifayat al-Akhyar, Hal. 329 
[11] Abdullah al-Muslih dan Shaleh ash-Shawi, fikih ekonomi keuangan islam (terj.), Cet. I (Jakarta: Darul Haq, 2004) Hal. 90 
[12] Ata’ul Haque, Reading in Islamic Banking (Dhaka: Islamic Foundation, 1987)
[13] Muhammad ibn Ahmad Ibnu Muhammad ibn Rusyd, al-Mabsuth vol. II, (Beirut: Bidayatul Mujtihad wa Nihayatul Muqtashid Darul Qalam, 1998) Hal. 216; Muhammad ibn Ahmad Ibnu Muhammad ibn Rusyd, al-Mabsuth vol. XII, (Beirut: Bidayatul Mujtihad wa Nihayatul Muqtashid Darul Qalam, 1998) Hal. 124 
[14] Dunia financial mengenalnya dengan istilah hire-purchase
[15] Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh ‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, vol. III, Hal. 102-102

Komentar