Lembaga Keuangan dalam Pandangan Islam

Blog Ekonomi - Semakin menjamurnya berbagai lembaga keuangan baik bank maupun non-bank dengan embel-embel syari’ah, muncul juga berbagai pertanyaan tentang lembaga tersebut. Apakah konsep tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an sehingga bisa disebut sebagai lembaga keuangan syari’ah? Jika telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, bagaimana Rasulullah dan para sahabat mengaplikasikan konsep lembaga keuangan syari’ah tersebut?Perlu pengkajian yang cukup dalam ketika syari’ah digunakan sebagai embel-embel sebuah lembaga keuangan pada masa kini. Lalu bagaimana konsep pada jaman yang modern seperti ini, apakah telah sesuai dengan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya?
Dari uraian tersebut, maka kami mengkaji tentang:
a. Bagaimana Konsep Lembaga Keuangan dalam Al-Qur’an
b. Lembaga Keuangan pada Masa Rasulullah
c. Lembaga Keuangan pada Masa Khulafaur Rosyidin
d. Lembaga Keuangan pada Masa Dinasti atau Kerajaan Islam
e. Lembaga Keuangan Islam/Syariah di Era Modern
Berikut Blog Mahfudz merangkumnya.

Lembaga Keuangan dalam Pandangan Islam

A. Konsep Lembaga Keuangan dalam Al-Qur'an
Dalam hal ini konsep lembaga keuangan dalam Al-Qur’an menjadi komponen yang sangat penting. Semakin menjamurnya berbagai lembaga keuangan baik bank maupun non-bank dengan embel-embel syari’ah, muncul juga berbagai pertanyaan tentang lembaga tersebut. Apakah konsep tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an sehingga bisa disebut sebagai lembaga keuangan syari’ah? Perlu pengkajian yang cukup dalam ketika syari’ah digunakan sebagai embel-embel sebuah lembaga keuangan pada masa kini. Lalu bagaimana konsep pada jaman yang modern seperti ini, apakah telah sesuai dengan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an?
Jika dilihat secara eksplisit, Al-Qur’an memang tidak menyebut konsep lembaga keuangan. Namun, sebuah wahyu ilahi yang satu ini tidak akan lekang oleh zaman. Lembaga Keuangan dalam definisinya adalah sebuah organisasi yang juga bernaung dalam dunia ekonomi. Penekanan tentang konsep organisasi dan ekonomi ini telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an. Konsep organisasi dalam Al-Qur’an tidak jauh dari masalah politik, diantaranya dijumpai istilah qaum untuk menunjukkan adanya kelompok sosial yang berinteraksi dengan yang lain; istilah balad untuk menunjukkan adanya struktur sosial masyarakat (negara) dan juga muluk untuk menunjukkan pentingnya sebuah pengaturan hubungan antar anggota masyarakat (pemerintahan) serta khalifah (kepemimpinan). Dalam kenyataannya, konsep sistem organisasi tersebut dijumpai dalam organisasi modern di era sekarang.
Tidak berbeda dengan konsep politik atau organisasi, al-Qur’an juga telah memberikan aturan-aturan dasar pada konsep kerjasama (muamalah), agar transaksi ekonomi tidak sampai melanggar norma atau etika. Lebih jauh dari itu, transaksi ekonomi dan keuangan lebih berorientasi pada keadilan dan kemakmuran umat. Misalnya istilah suq (pasar) yang menunjukkan tentang betapa aspek pasar harus menjadi fokus bisnis yang penting. Organisasi keuangan yang dalam Islam dikenal dengan istilah Amil tidak saja berfungsi untuk urusan zakat semata, tetapi memiliki peran yang lebih luas dalam pembangunan ekonomi. Pembagian ghonimah juga menunjukkan adanya mekanisme distribusi yang merata dan adil.[1] Anjuran untuk berlaku adil terdapat adalah al-Quran surah an-Nahl ayat 90. (klik gambar)
Ayat tersebut menjelaskan aturan-aturan bagi manusia dalam beraktifitas, yaitu harus berlaku adil dan melakukan kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan juga terdapat larangan agar tidak berbuat keji, berbuat kemungkaran dan permusuhan. Hal ini tentu saja untuk kebaikan antar manusia itu sendiri. Dengan adanya aturan tersebut, maka aktifitas manusia akan berjalan dengan baik. Dalam ayat tersebut, Allah juga menganjurakan kepada kita, untuk menegakkan kebenaran karena Allah, serta menjadi saksi yang adil karena adil adalah bentuk dari ketakwaan. Seperti halnya yang tercantum dalam Q.S Al-Maidah ayat 8. (klik gambar)
Berdasarkan ayat di atas, tentu saja konsep keadilan sangat diperlukan dalam suatu lembaga keuangan. Suatu lembaga keuangan tidak boleh melakukan kedzaliman yang akan merugikan pihak lain dalam menjalankan aktifitasnya. Selain itu juga harus memperhatikan kemaslahatan bersama, artinya tidak boleh membeda-bedakan antar orang satu dengan orang yang lain karena adanya kepentingan. Pihak-pihak yang menjadi saksi dalam satu transaksi di dalam suatu lembaga keuangan, mereka harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya akan jalannya transaksi. Seorang saksi tidak boleh memberikan kesaksian palsu, karena kesaksiaan palsu dalam hubungan vertikal sangatlah dibenci Allah SWT dan dalam hubungan horisontal juga merugikan pihak lain.
Sebagai lembaga dengan struktur organisasi yang jelas, Islam juga menekankan pentingnya akhlak/etika. Merujuk pada ciri-ciri organisasi modern saat ini, hal-hal yang harus mendapatkan perhatian serius diantaranya: transparansi dan akuntabilitas, keterbukaan, egalitarianisme, profesionalisme dan pertanggungjawaban. Al-Qur’an telah sejak lama memberikan aturan dan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan bagi pembentukan organisasi modern.[2]
Prinsip akuntabilitas dan transparansi memberikan arahan bahwa lembaga bisnis harus dapat menunjukkan prinsip keterbukaan dan bebas dari manipulasi. Konsep pencatatan (dalam istilah ekonomi modern disebut akuntansi) laporan keuangan seperti laba-rugi dan perubahan modal serta administrasi bisnis yang lain secara jelas diatur dalam Al-Qur’an. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat terpanjang dalam Al-Qur’an yakni di Surat Al Baqarah ayat 282. (klik gambar)
Penjelasan yang sangat lengkap dari ayat tersebut menjelaskan bahwa Islam menekankan pentingnya pengaturan bisnis secara benar. Tuntutan pada setiap individu untuk mengorganisasi diri sendiri dalam berorganisasi juga harus dilakukan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Sejatinya, lembaga bisnis dalam Islam sesungguhnya bukan saja berfungsi sebagai pengumpul modal dan mengakumulasi laba, tetapi juga berperan dalam pembentukan sistem ekonomi yang lebih adil dan terbebas dari perilaku ekonomi yang zalim. Penjelasan ini dapat kita jumpai dalam Surat Ali Imran ayat 104. (klik gambar)
Dari ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa sebuah lembaga ekonomi yang baik adalah yang mengajak kepada kebajikan yang dapat diartikan menuju pada peningkatan kehidupan dan kesejahteraan ekonomi. Berbuat baik dan mencegah kemungkaran berarti juga menciptakan iklim dan sistem bisnis yang Islami jauh dari sistem yang anarkis dan eksploitatif.

B. Lembaga Keuangan pada Masa Rasulullah 
Lembaga Keuangan pada masa Rasulullah menjadi komponen yang tidak bisa dipisahkan. Karena bagaimanapun juga, Rasulullah SAW adalah sebuah aplikasi Al-Qur'an di dunia nyata.
Sejak zaman Rasulullah SAW. praktek-praktek seperti pembiayaan telah ada yakni menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis serta melakukan pengiriman uang. Dengan demikian, fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat islam sejak zaman Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan al-Amin dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, Beliau meminta Ali Bin Abi Thalib r.a. untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan.
Oleh karena itu seorang sahabat Rasulullah SAW yakni Zubair bin al-Awwanm r.a. memilih tidak menerapkan konsep menerima titipan harta, ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni: (a) dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkannya; (b) karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh.
Dalam riwayat yang lain disebutkan, Ibnu Abbas r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang dari Makkah ke adiknya Mis ‘ab bin Zubair r.a. yang tinggal di Irak.[3]
Sejak zaman Rasullah SAW, terdapat lembaga keuangan yang mengurusi kepentingan masyarakat, yaitu Baitul Maal dan Wilayatul Hisbah.
a. Baitul Maal 
Lembaga Baitul Maal, merupakan lembaga bisnis dan sosial yang pertama dibangun oleh nabi. Lembaga tersebut berfungsi sebagai tempat penyimpanan dana. Aktivitas dari lembaga keuangan tersebut yakni proses penerimaan pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan (expenditure) secara transparan dan bertujuan seperti apa yang disebut sekarang sebagai welfare oriented.[4]
Konsep ini merupakan konsep yang sangat baru kala itu, mengingat konsep sebelumnya masyarakat mengumpulkan pajak-pajak dan pungutan hanya untuk para penguasa atau para raja. Para penguasa di sekitar Jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia menarik upeti dari rakyat dan dibagi untuk para raja serta kepentingan kerajaan. Sedangkan mekanisme Baitul Maal, tidak saja untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk melindungi kepentingan kafir dhimmi.
Dalam menafsirkan Baitul Maal, para ahli ekonomi Islam dan sarjana ekonomi Islam memiliki perbedaan dalam menafsirkannya. Sebagian berpendapat, bahwa Baitul Maal itu semacam bank sentral, seperti yang ada saat ini. Tentunya dengan berbagai kesederhanaannya karena keterbatasan yang ada. Sebagian lagi berpendapat, bahwa baitul maal itu semacam menteri keuangan atau bendahara negara. Hal ini mengingat fungsinya untuk menyeimbangakn antara pendapatan dan pembelanjaan negara.
Namun dari berbagai pendapat tersebut, intinya kehadiran lembaga ini membawa pembaruan yang besar. Dana-dana umat yang bersumber dari dana sosial, baik yang wajib seperti zakat, jizyah dll maupun yang tidak wajib seperti sedekah, denda (dam) dikumpulkan melalui lembaga Baitul Maal dan disalurkan untuk kepentingan umat.
Arahan-arahan dari nabi Muhammad SAW mengenai pemungutan dan pendistribusian kekayaan negara memberikan bentuk kesucian pada Baitul Maal. Lembaga ini sampai diidentifikasi sebagai lembaga trust (kepercayaan) umat Islam dengan khalifah sebagai trustee. Ia bertanggung jawab atas setiap sen uang yang terkumpul dan pendistribusiannya. Bagaimanapun dengan terjadinya degenerasi di kalangan umat Islam konsep ini menjadi kabur dan oleh penguasa yang korup, menjadikan Baitul Maal untuk kepentingan pribadi mereka.
b. Wilayatul Hisbah 
Wilayatul Hizbah merupakan lembaga pengontrol pemerintahan. Pada masa nabi fungsi lembaga kontrol ini dipegang langsung oleh beliau. Konsep lembaga kontrol ini merupakan fenomena baru bagi masyarakat Arab, mengingat waktu itu, kerajaan hampir sama sekali tidak memiliki lembaga kontrol. Rasulullah berperan langsung sebagai penyeimbang kegiatan muamalah, baik ekonomi, politik maupun sosial. Rasulullah selalu menegur bahkan melarang langsung praktik bisnis yang sifatnya merusak harga dan menzalimi. Pelarangan riba, monopoli, serta menimbun barang dan sejenisnya menjadi bukti nyata bahwa terdapat lembaga pengontrol aktivitas bisnis.
Keberadaan lembaga ini menjadi sangat strategis dan penting mengingat kepentingan umat yang lebih besar. Diriwayatkan Rasulullah pernah menegur seseorang yang menjual kurmanya dengan harga yang berbeda di pasar. Beliau juga menolak permintaan sahabatnya untuk menentukan harga yang layak bagi kaum muslimin karena harga-harga yang ada dipasar terlalu tinggi. Diriwayatkan dari Anas bahwa ia berkata: Harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, tentukan harga untuk kita.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu penentu harga, penahan dan pencurah serta pemberi rizki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” (H.R. Tirmidzi)
Pembangunan Etika Bisnis 
Terdapat nilai-nilai dan prinsip-prinsip bisnis yang luhur dalam melakukan pembangunan etika bisnis Rasulullah SAW, karena dalam hal melakukan kegiatan bisnisnya Rasulullah selalu berpegangan teguh dengan Al-Quran. Di samping itu adalah kelebihan Rasulullah SAW untuk mempraktekkan dan memberikan contoh penerapan etika bisnis di dunia usaha yang riil dan berwawasan global (pada jamannya) jauh sebelum Beliau mengajarkan prinsip dan etika bisnis kepada umatnya setelah menjadi Rasul kelak.
Diriwayatkan oleh Abdurrazak dalam Sirah Ibn Hisham bahwa Rosulullah SAW pernah bersabda: “para pengusaha yang jujur (dan menjunjung tinggi etika bisnis) kelak akan bersama para nabi, syuhada dan shalihin di surga”.
Dapat dimengerti betapa besarnya pahala yang dijanjikan oleh Allah SAW untuk para pengusaha yang jujur. Karena memang hanya dengan jujurnya para pengusaha dan bersihnya para birokrat dunia usaha akan maju dan berkembang dengan baik. Sebaliknya seandainya kedua aktor utama dunia usaha ini dalam hubungannya banyak diwarnai dengan kolusi, korupsi dan manipulasi atau kesalahan prosedur yang disengaja maka itulah pertanda dari tidak sehatnya dunia usaha. Dimana pada gilirannya nanti akan mengakibatkan tidak transparannya dunia usaha, ekonomi biaya tinggi, kebocoran uang negara dalam jumlah yang sangat besar serta terpusatnya aset nasional yang hanya mengarah pada segelintir pengusaha atau pejabat.
Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al A’raf: 96 dan Surah Hud: 85. (klik gambar).

C. Lembaga Keuangan pada Masa Khulafaur Rosyidin 
Sepeninggal Rosulullah, tradisi yang sudah dibangun oleh Nabi diteruskan oleh para khalifah dimasa Khulafaur Rosyidin. Dimulai oleh Abu Bakar yang meneruskan kebiasaan memungut zakat sebagai bagian dari ajaran Islam dan menjadi sumber keuangan negara terus ditingkatkan.
Berbagai tantangan untuk Khalifah Abu Bakar seperti pertentangan para pembangkang yang menolak membayar zakat atau berfikir bahwa zakat hanya berlaku pada masa Rasul, menimbulkan terjadinya peperangan antara sahabat yang taat kepada kepemimpinan beliau melawan orang-orang yang membangkang atas perintah zakat.
Bahkan sampai terjadi peperangan antara sahabat yang taat kepada kepemimpinan beliau melawan orang-orang yang membangkang atas perintah zakat (kaum riddah).[5] Para pembangkang yang menganggap bahwa kebiasaan membayar zakat merupakan kewajiban yang dibayar pada masa Rasulullah. Tindakan khalifah ini didukung oleh hampir seluruh kaum muslimin yang berakhir pada kembalinya kaum muslimin ke jalan yang benar.
Pada masa Khulafaur Rosyidin selanjutnya yakni masa Khalifah Umar bin Khattab, lembaga Baitul Maal semakin mapan keberadaannya. Khalifah Umar meningkatkan basis pengumpulan dana zakat serta sumber-sumber penerimaan lainnya. Sistem administrasinya sudah mulai dilakukan penerbitan. Khalifah Umar juga memiliki kepedulian yang tinggi atas kemakmuran rakyatnya. Dikisahkan bahwa beliau mendatangi langsung rakyatnya yang masih miskin serta membawakan langsung makanan untuk rakyatnya. Ucapan beliau yang sangat terkenal yakni, “Jika ada keledai yang terperosok di Iraq, ia akan ditanya Tuhan mengapa ia tidak meratakan jalannya”.
Pada masa Umar pula mulai dilakukan penertiban gaji dan pajak tanah. Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga negara menjadi dua bagian. Bagian pertama warga negara muslim dan bagian kedua warga non muslim yang damai (dhimmi). Bagi warga negara muslim, mereka diwajibkan membayar zakat, sedangkan yang dhimmi diwajibkan membayar kharaj dan jizyah.
Bagi muslim diperlakukan hukum Islam dan bagi dhimmi diperlakukan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku. Agar situasi tetap terkendali, Umar menetapkan wilayah jazirah Arab untuk muslim dan wilayah luar jazirah Arab untuk non muslim. Sedangkan untuk mencapai kemakmuran yang merata, wilayah Syiria yang padat penduduknya dinyatakan tertutup untuk pendatang baru.
Pada masa Umar pula mata uang sudah mulai dibuat. Umar sering berjalan sendiri untuk mengontrol mekanisme pasar. Apakah telah terjadi kedzaliman yang merugikan rakyat dan konsumen. Khalifah memberlakukan kuota perdagangan kepada para perdagangan dari Romawi dan Persia karena kedua negara tersebut memperlakukan hal yang sama kepada para pedagang Madinah. Kebijakan ini sama dengan sistem perdagangan internasional modern yang dikenal dengan principle of reciprocity.
Umar juga menetapkan kebijakan fiskal yang sangat popular tetapi mendapat kritikan dari kalangan sahabat ialah menetapkan tanah taklukan Iraq bukan untuk tentara kaum muslimin sebagaimana biasanya tentang ghanimah, tetapi dikembalikan kepada pemiliknya. Khalifah kemudian menetapkan kebijakan kharaj (pajak bumi) kepada penduduk Iraq tersebut.
Semua kebijakan khalifah Umar Bin Khattab ditindak lanjuti oleh khalifah selanjutnya, yakni Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Tholib. Sangat menarik untuk diperhatikan ialah bahwa Lembaga Keuangan Baitul Maal masih berfungsi sangat strategis sebagaimana mestinya baik Masa Rasulullah maupun Khulafa’ al-Rashidin.
Melalui Baitul Maal ini, para pemimpin Islam ini sangat serius dan mampu dalam mengentaskan kemiskinan umat dan membangun sistem moneter Islami. Kesejahteraan rakyat menjadi fokus utama dalam pembangunan ekonomi.[6]

D. Lembaga Keuangan pada Masa Dinasti atau Kerajaan Islam
Tidak berbeda dengan masa Khulafaur Rosyidin, masa-masa kejayaan Islam mulai dinasti Muawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah serta dinasti-dinasti kecil pada masa lalu, juga tetap menjalankan lembaga keuangan yang dibangun Islam sebagaimana mestinya. Kecuali bahwa mulai terjadi disfungsi pada pengeluaran-pengeluaran disebabkan tingkat ketaatan agama mulai menurun.
Ketika Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah masa-masa Khulafaur Rosyidin. Mu’awiyah yang menggantikan Khalifah Ali bin Abi Thalib duduk sebagai khalifah pertama dari Bani Umayyah pada awal masa Dinasti/Kerajaan Islam.
Lembaga syuro dalam politik pemerintahan Islam yang telah bergeser menjadi dinasti/kerajaan, tidak mengubah fungsi Baitul Maal yang tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kecuali bahwa mulai terjadi disfungsi pada pengeluaran-pengeluaran disebabkan tingkat ketaatan agama mulai menurun. Hanya satu khalifah pada dinasti ini yang dikagumi karena keadilan dan keshalehannya, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Walaupun masa pemerintahannya cukup singkat yaitu 2,5 tahun, namun ia mampu mendistribusikan pendapatan sedemikian rupa sehingga dapat mensejahterakan rakyatnya, sehingga pada masa itu susah mencari orang yang menerima zakat.
Dinasti Umayah di Damaskus berakhir dengan naiknya dinasti Abbasiyah, sepanjang pemerintahan Dinasti Abbasiyah, terjadilah perubahan pola ekonomi sehingga di salah satu khalifahnya menciptakan standar uang bagi kaum muslimin dikarenakan ada kecenderungan orang menurunkan nilai uang emas dan perak, serta mencampurkan dengan logam yang lebih rendah. Pada zaman keemasan dinasti ini fungsi Baitul Maal telah merambah kepada pengeluaran untuk riset ilmiah dan penerjemahan buku-buku Yunani juga untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai.
Dinasti Abasiyah pudar berganti dengan Turki Saljuq di Asia Tenggara, Sasanid di Cordova dan Fathimiyah di Mesir dan berakhir Turki Usmani di Istanbul. Selama itu fungsi Baitul Maal berkembang menjadi perbendaharaan negara dan pengatur kebijakan fiskal dan moneter. Runtuhnya Dinasti Usmaniyah di Turki menandakan menangnya kolonialisme di negeri-negeri Islam, baik secara fisik dan pemikiran. Karena itu meskipun kemudian negeri-negeri Islam merdeka dari penjajahan, namun Baitul Maal dengan Konsep Islam murni tidak pernah muncul lagi.[7]

E. Lembaga Keuangan Syariah Modern 
Bagaimanapun juga, terjadinya penjajahan di negara-negara Islam telah berhasil mengubah sistem pemerintahan, politik dan ekonomi. Meskipun sudah banyak negara Islam yang berhasil merdeka dari segi politik, namun sisa-sisa penjajahan masih sangat terlihat dalam sistem ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Beberapa pemberontakan dari wilayah-wilayah kekuasaan Islam pada masa lalu hingga penjajahan di negara-negara Islam telah berhasil mengubah sistem pemerintahan, politik dan ekonomi yang disajikan sesuai sistem Islam. Meskipun sudah banyak negara Islam yang berhasil merdeka secara politik, namun sisa-sisa penjajahan masih sangat terlihat dalam sistem ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Paham sekularisme yang menjadi doktrin kaum penjajah, secara tidak langsung juga mempengaruhi pola pikir bahkan akidahnya.
Pada umumnya, para pemimpin negara-negara Islam pasca kolonialisme telah mengenyam pendidikan dari penjajahnya. Paham sekularisme yang menjadi doktrin kaum penjajah, yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir dan bahkan akidahnya. Sehingga sistem pemerintahannya masih menjiplak sistem pemerintahan kaum penjajah. Bahkan nama Baitul Maal- pun sudah tersingkir dari kosakata pemerintahan mereka.
Sistem ekonomi umumnya tidak bisa terlepas dari sistem politik. Warisan kaum penjajah telah membentuk watak negara Islam menjadi individualis dan sekuler. Warisan ekonomi sebagai akibat penjajahan, membawa masalah baru yang akan terus terjadi seperti pengangguran, inflasi terpisahnya agama dan ekonomi serta politik. Berbagai warisan tersebut tidak mampu membawa negara berhasil dalam pembangunan ekonomi.
Akhirnya negara Islam mencoba mencari terobosan baru untuk keluar dari masalah ekonomi dan segera mencari solusi yang dikaitkan dan dikembalikan kepada ideologi. Ideologi ini berangkat dari kesadaran para pemimpin negara Islam yang menganggap bahwa sistem ekonomi kaum penjajah tidak dapat mengatasi masalah.
Dalam bidang keuangan, telah ditemukan terminologi baru. Jika sistem bunga ribawi yang telah dikenalkan oleh kaum penjajah seiring dengan menghilangnya Baitul Maal dalam khazanah kenegaraan, maka kesadaran ini telah mengerahkan sistem keuangan yang bebas riba.
Gerakan lembaga keuangan yang bebas riba dengan sistem modern yang pertama kali terdapat di desa Mith Gramer, tepi sungai Nil di Mesir. Didirikan pada tahun 1969 oleh DR. Abdul Hamid al-Naghar. Bank ini semula hanya menerima simpanan lokal, namun Bank ini tidak beroperasi dalam waktu lama. Karena masalah manajemen yang melilitnya, maka bank ini terpaksa ditutup.
Bagaimanapun juga, bank dengan sistem bagi hasil tersebut telah mencatatkan sejarah yang berharga dalam khazanah ekonomi dan keuangan Islam. Kelahiran bank ini telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam yang pertama pada tahun 1975 di Mekah.
Demikian artikel tentang Lembaga Keuangan dalam Perspektif Islam, Lembaga Keuangan pada Masa Rasulullah, Lembaga Keuangan pada Masa Khulafaur Rosyidin, Lembaga Keuangan pada Masa Dinasti atau Kerajaan Islam dan Lembaga Keuangan Islam/Syariah di Era Modern. Semoga bermanfaat dan jangan lupa kirim kritik dan saran di kolom komentar. Terima Kasih

[1] Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Jogjakarta: UPP AMP YKPN, 2003)
[2] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil, (UII Pres, Jogjakarta: 2004)
[3] Ir. Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2010)
[4] Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Jogjakarta: UPP AMP YKPN, 2003)
[5] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, Jogjakarta, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2002
[6] Nouruzzaman Shiddiqi, Tamadun Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)
[7] Nouruzzaman Shiddiqi, Tamadun Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)

Komentar