Mahfudz Ha-eR Semarang - Manusia sebagai
makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari pergaulan antar sesama dan hubungan
dengan sang pencipta. Sebagai makhluk yang berakal, sudah selayaknya ketika
menghadap Tuhannya harus mematuhi rambu-rambu yang digariskan oleh syara’.
Bahkan, ketika bermunajat dengan Sang Khaliq pun, harus diperhatikan aturan
mainnya, diantaranya adalah dengan melakukan thaharah sebagai mediator dalam
beribadah kepada Allah.
Setiap kegiatan
ibadah umat Islam pasti melakukan membersihkan (thaharah) terlebih dahulu mulai
dari wudhu. Wudhu adalah sebuah syariat kesucian yang Alloh ‘Azza wa Jalla
tetapkan kepada kaum muslimin. Sebagai pendahuluan bagi shalat dan ibadah
lainnya. Di dalamnya terkandung sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita
bahwa hendaknya seorang muslim memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian
lahir batin. Sebab kata ini sendiri berasal dari kata yang mengandung makna
“kebersihan dan keindahan”.
Wudhu disyariatkan
bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyariatkan pada seluruh
kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu dalam kondisi
bersuci (wudhu) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi Muhammad SAW
dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik dalam keadaan
senang ataupun susah dan kurang menyenangkan (seperti saat muslim hujan dan
dingin).
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wudhu
1. Pengertian
Secara Bahasa
Al Imam Ibnu Atsir
Al-Jazary rohimahumullah (seorang ahli bahasa) menjelaskan bahwa jika dikatakan
wadhu’ (اَلْوَضُوءْ),
maka yang dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu (الُوضُوءْ), maka yang diinginkan di situ
adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan sedang
wadhu adalah air wudhu.[1]
Al-Hafizh Ibnu Hajar
Asy-Syafi’iy rohimahulloh, kata wudhu terambil dari kata al-wadho’ah / kesucian
(اَلْوَضُوءْ).
Wudhu disebut demikian, karena orang yang sholat membersihkan diri dengannya.
Akhirnya, ia menjadi orang yang suci.”[2]
2. Pengertian
Secara Syari’at
Sedangkan menurut
Syaikh Sholih Ibnu Ghonim As-Sadlan Hafishohulloh:
مَعْنَى الْوُضُوْءِ : اَسْتَعْمِلُ مَاءٍ طَهُوْرٍ فِى اْلأَعْضَاءِ
اْلاَرْبَعَةِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوْصَةٍ فِى الشَّرْعِ
Artinya: “maka wudhu adalah menggunakan air yang suci
lagi menyucikan pada anggota-anggota badan yang empat (wajah, tangan, kepala
dan kaki) berdasarkan tata cara yang khusus menurut syariat”.[3]
Jadi definisi wudhu
bila ditinjau dari sisi syariat adalah suatu bentuk peribadatan kepada Alloh
Ta’ala dengan mencuci anggota tubuh tertentu dengan tata cara yang khusus.
Disyari’atkan wudhu
ditegaskan berdasarkan 3 macam alasan:[4]
a.
Firman Alloh dalam
surat Al-Maidah ayat 6
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit403 atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi
Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur
b.
Sabda Rosululloh
لاَيَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ اَحَدُكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّاءَ
Artinya: Allah tidak menerima shalat salah seorang
dia nataramu bila ia berhadats, sehingga ia berwudhu”. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
c.
Ijma’
Telah terjalin
kesepakatan kaum muslim atas disyari’atkannya wudhu semenjak zaman Rosululloh
hingga sekarang ini, sehingga tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah
ketentuan yang berasal dari agama.
B. Rukun Wudhu
Dalam kitab Fathul Mu’in disebutjkan ada 6 hal yang menjadi rukun wudhu:[5]
1. Niat fardhunya wudhu
ketika pertama kali membasuh wajah
2. Membasuh wajah
3. Membasuh kedua tangan dari telapak
dan lengan sampai siku
4. Membasuh sebagian kepala
5. Membasuh kedua kaki beserta jkedua
mata kaki
6. Tertib
Dan terdapat perbedaan pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang
menyebutkan 4 saja, sebagaimana yang tercantum dalam ayat Qur’an, namun ada
juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari sunnah.[6]
4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya
ada 4 sebagamana yang disebutkan dalam Nash Qur’an.
7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat,
ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu, sebab menurut beliau sekedar mengguyur
anggota wudhu dengan air masih belum bermakna mencuci/membasuh, juga beliau
menambahkan kewajiban muwalat.
6 (enam) rukun menurut As-Syafi’iyah menambahnya dengan niat pembasuhan dan
usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan
adalah harus tertib.
7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib
dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu
anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya
air bekas wudhu.
C. Syarat-syarat Wudhu
1. Dikerjakan
dengan air mutlaq
2. Mengalirkan
air di atas anggota yang dibasuh
3. Tidak
ada sesuatu pada anggota yang dapat mengubah air, yaitu perubahan yang merusakkan nama air mutlak itu
4. Pada
anggota wudhu, tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dan anggota yang
dibasuh
5. Dilakukan
sesudah masuk waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats
D. Sunah-sunah Wudhu
1. Membaca
basmalah sebelum mengambil air untuk membasuh muka sambil niat berwudhu
2. Membasuh
kedua telapak tangan sampai pergelangan, dicuci dengan air yang suci 3x (tiga
kali)
3. Berkumur
4. Beristisyaq
(menghirup air ke dalam hidung)
Dan sunnah mengeraskan
berkumur dan beristinsyaq bagi yang tidak puasa, dan makruh bagi yang puasa.
Berkumur dan istinsyaq dilakukan 3x.
5. Istinsaar
(membuang air dari hidung) dengan meletakkan jari telunjuk dan ibu jari tagan
kiri di atas hidung. Jika dalam hidung terdapat kotoran yang keras, hendaklah
dikeluarkan dengan jari kelingking tangan kiri.
6. Mengusap
kedua telinga bagian luar atau dalam hingga gendang telinga
Dalam mengusap telinga
harus menggunakan air yang babru, bukan air yang habis digunakan mengusap
kepala.
7. Merenggangkan
jari-jari kedua tangan dan kaki jika menghalangi masuknya air ke sela-sela jari
Caranya pada tangan
ialah meletakkan bagian dalam pada salah satu telapak tangan di atas telapan
tangan yang lain sambil memasukkan jari tanganpada tangan lain. Dan caranya
pada kaki adalah meletakkan jari-jari tangan kiri diantara jari kaki, dimulai
dari jari kelingking kaki kanan dan berakhir pada kelingking kiri pada bagian
bawah kaki.
8. Menggerakkan
cincin agar air sampai pada bagian bawah jari
9. Mendahulukan
anggota kanan ketika membasuh kedua tangan dan kaki
10. Memulai
dengan ujung anggota yaitu membasuh wajah mulai bagian atas sampai bawah dan
membasuh kedua tangan mulai jari-jari sampai siku, mengusap kedua kepala mulai
dari tempat yang biasa ditumbuhi rambut sampai bagian atas kepala, dan membasuh
kedua kaki dari ujung jari-jari sampai kedua mata kaki
11. Melebihkan
basuhan pada anggota yang wajib seperti wajah, tangan, kaki
12. Membasuh dua
atau tiga kali dalam segala hal, kecuali bila sudah merata, bila merata pada
basuhan kedua, maka basuhan kedua itu dianggap kali pertama. Bila merata pada
basuhan kali ketiga, maka semua basuhan dianggap kali pertama, dan hendakllah
diteruskan dengan basuhan kali kedua dan ketiga.
13. Menghadap
kiblat
14. Langsung
yaitu beruntun antara anggota-anggota wudhu tidak terdapat jarak yang lama,
sehingga anggota yang telah dibasuh mengering kembali.
15. Membasuh
tangan hingga pergelangan pada saat akan mulai wudhu. Ini biasa dilakukan
Rosulullah SAW, sunnah ini sangat sesuai dengan fitrah dan akal. Sebab biasanya
pada tangan itu ada debu atau yang serupa dengan debu. Maka sudah harusnya,
kamu dimulai dengan membersihkannya sehingga kemudian bisa digunakan untuk
mencuci muka dan anggota tubuh lainnya.
Dan yang sangat
ditekankan untuk melakukan itu adalah saat bangun dari tidur. Sesuai hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim.
إذَ اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يُدْخِلْ يَدَهُ فِى
اْالإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاَثً فَإِنَّهُ لاَيَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ
يَدُهُ.
“Jika seorang diantara kalian bangun dari tidur, maka janganlah ia
memasukkan tangannya ke dalam wadah air hingga dia mencucinya sebanyak 3x.
Sebab dia tidak tahu di tempat mana tangannya berada sebelumnya.”[7]
16. Menyela-nyela jenggot
yang lebat
17. Memulai dari
bagian kanan. Hendaknya ia mulai mencuci tangan kanan sebelum yang kiri,
mencuci kaki kanan sebelm yang kiri.
18. Irit dalam
menggunakan air dan jangan sampai melakukan pemborosan, namun jangan sampai
terlalu kikir
E. Hal-hal yang Membatalkan Wudhu
1. Kencing
dan Buang Air Besar
Hal yang membatalkan
wudhu dan disepakati bersama adalah keluarnya kencing dan tinja dari seseorang.
Tentang batalnya wudhu karena kencing dan tinja adalah sesuatu yang sudah
sangat diketahui dan disepakati dan sudah jelas tidak memerlukan dalil untuk
menjelaskannya.
2. Madzi
dan Wadi
Termasuk yang
membatalkan yang keluar dari kemaluan depan seorang laki-laki adalah madzi dan wadi.
Madzi adalah sesuatu
yang keluar dari penis seseorang lelaki setelah dia bercumbu, melihat atau
berpikir mengenai seks. Dia adalah air yang kental yang keluar dengan cara
mengalir dan tidak memancar laksana mani.
Sedangkan wadi adalah
air berwarna putih yang keluar setelah buang air kecil.
Keduanya membatalkan
wudhu laksana kencing, dan tidak ada kewajiban apa-apa lagi bagi seseorang yang
keluar madzi dan wadi kecuali istinja’ dan wudhu.
3. Keluarnya
Angin dari Anus
Dalam riwayat
Al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa Rosululloh SAW
bersabda:
لاَيَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ اَحَدُكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّاءَ
Artinya: ‘’Allah tidak menerima shalat salah seorang
dia nataramu bila ia berhadats, sehingga ia berwudhu”.
Abu Hurairah
menafsirkan kata “hadats”, di sini ada orang bertanya kepadanya: “apa yang
dimaksud dengan hadats”? Dia berkata: kentut yang tidak ada suaranya dan kentut
yang ada suaranya.
Dalam riwayat
Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid dari Ashim Al-Anshari, bahwa dia
mengadukan sesuatu kepada Rosululloh tentang seseorang yang ragu merasakan
sesuatu pada saat shalat yakni dia merasakan ada angin keluar dari anusnya,
maka Rosululloh SAW bersabda:
لاَيَنْفَتِلْ أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ
يَجِدَرِيْحًا
Artinya, dia masih
tetap berada dalam keadaan suci dan dalam wudhunya, karena itu adalah
keyakinan, dan keyakinan tidak hilang disebabkan keraguan, lain halnya jiak dia
mendengar suara kentutnya atau mencium baunya.
4. Tidur
Berat
Hal yang disepakati
membalatkan wudhu adalah tidur berat dan panjang. Sebagaimana tidurnya
seseorang yang tidur di malam hari, kemudian dia bangun pagi.
Sedangkan yang berupa
kantuk, maka dia tidak membatalkan wudhu, sebab itu adalah tidur ringan.
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: (كَانَ أَصْحَابُ
رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَلَى عَهْدِنِ يَنْتَظِرُوْنَ الْعِشَاءَ حَتَّى تَحْفِقَ
رَؤُسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ (أَخْرَجَهُ أبُوْ دَاوُدَ
وَصَحَّحَهُ الدَّارَ قُطْنِى وَاَصْلُهُ فِو مُسْلِمٍ
5. Bersentuhan
laki-laki dan perempuan yang boleh nikah yang sudah baligh dan berakal, dan
tidak ada penghalang keduanya.
6. Menyentuh
kemaluan dengan telapak tangan tanpa ada penghalang
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian
Secara Bahasa
Al Imam Ibnu Athir
Al-Jazary rohimahulloh (Seorang ahli bahasa) menjelaskan bahwa jika dikatakan
wudhu maka yang dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu, bila dikatakan
wudhu, maka yang diinginkan di sini adalah perbuatannya. Jadi wudhu adalah
perbuatan, sedangkan wadhu adalah air wudhu.
Al-Hafi’ah Ibnu Hajar
Asy-Syafi’iy, kata wudhu diambil dari kata al-wadho’ah/kesucian. Wudhu disebut
demikian, karena orang yang sholat membersihkan diri dengan wudhu, akhirnya ia
menjadi orang yang suci.
Pengertian menurut
Syari’at
Menurut Syaikh Shohih
Ibnu Ghorim As-Sadlan Harishulloh, bila ditinjau dari sisi syari’at adalah
suatu bentuk peribadatan kepada Allah SWT dengan mencucui anggota tubuh
tertentu dengan data cara khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Al Imam
Al Hafizh dan Ibnu Hajar Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari Cet.
I. Jakarta Selatan: Pustaka Azam. 2001
Al-Jamal Ibrahim
Muhammad. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani. 1999.
Al-Malibary, Zainuddin
bin Muhammad Al-Ghozaly. Fathul Mu’in. Surabaya: Darul Ilmi, tt.
Al-Qaradhawi Yusuf. Fiqih
Thoharoh. Jl. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
2004.
Al-Thoyaar, Abdullah
bin Muhammad. Risalah fi Al-Fiqh. Al-Muyassar Cet I. Riyadh: Madar Al
Watoni lin Nasyr. tt.
Al-Utsaimin, Syaikh
Muhammad bin Shalih. Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits wal atsar Cet.
5. Mesir: Jannatul Afkar. 2008.
Mas’ud, Ibnu dan
Zainal Abidin. Fiqih Madzab Imam Syafi’I, Bandung:
Pustaka Setia Bandung. 2007.
[1] Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, An-Nihayah Fi Gharib Al-Hadits
wa Al-Atsar, Cet. 5 (Mesir: Jannatul Afkar, 2008), 428
[2] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqulani, Fathul Baari Syarah Shahih
Al-Bukhari, Cet I (Jakarta Selatan, Pustaka Azam, 2001), 306
[3] Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar. Kitab Riasalah fi Al-Fiqh
Al-Muyassar Cet. I (riyadh: Madar Al-Wathoni Lin Nasyr, tt), 19
[4] Zainuddin bin Muhammad Al-Ghazaly Al Mailbary. Fatkhul Mu’in
(Surabaya, Barul Al Ilmi, tt), 5
[5] Drs. H. Ibnu Mas’ud, Drs. H. Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Imam
Syafi’i (Bandung), 2007, 56
[6] Ibrahim Muhammad Al-Jamal. Fiqih Muslimah (Jakarta: Pustaka Amani,
1999), 14-16
[7] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Thaharoh, Jl. Cipinang Muara Raya No. 63
Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2004, hal. 200-203
[8] Dr.
Yusuf Al Quradhawi. Fikih Thaharah (Jln. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2004), 2007-231
apakah setiap gerakan kita harus membaca doa khusus min
BalasHapus